UU No. 22 Tahun 2009 tersebut diharapkan
dapat membantu mewujudkan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terkait dengan
penyelenggaraan jasa angkutan, baik itu pengusaha angkutan, pekerja (sopir/
pengemudi) serta penumpang. Secara operasional kegiatan penyelenggaraan
pengangkutan dilakukan oleh pengemudi atau sopir angkutan dimana pengemudi
merupakan pihak yang mengikatkan diri untuk menjalankan kegiatan pengangkutan
atas perintah pengusaha angkutan atau pengangkut. Pengemudi dalam menjalankan
tugasnya mempunyai tanggung jawab untuk dapat melaksanakan kewajibannya yaitu
mengangkut penumpang sampai pada tempat tujuan yang telah disepakati dengan
selamat, artinya dalam proses pemindahan tersebut dari satu tempat ke tempat
tujuan dapat berlangsung tanpa hambatan dan penumpang dalam keadaan sehat,
tidak mengalami bahaya, luka, sakit maupun meninggal dunia. Sehingga tujuang
pengangkutan dapat terlaksana dengan lancar dan sesuai dengan nilai guna
masyarakat. Namun dalam kenyataannya masih sering pengemudi angkutan melakukan
tindakan yang dinilai dapat menimbulkan kerugian bagi penumpang, baik itu
kerugian yang secara nyata dialami oleh penumpang (kerugian materiil), maupun
kerugian yang secara immateriil seperti kekecewaan dan ketidaknyamanan yang
dirasakan oleh penumpang. Misalnya saja tindakan pengemudi yang mengemudi
secara tidak wajar dalam arti saat menjalani tugasnya pengemudi dipengaruhi
oleh keadaan sakit, lelah, meminum sesuatu yang dapat mempengaruhi kemampuannya
mengemudikan kendaraan secara ugal-ugalan sehingga menyebabkan terjadinya
kecelakaan dan penumpang yang menjadi korban. Hal ini tentu saja melanggar
pasal 23 ayat 1 (a) UULLAJ.
Dalam dunia perdagangan ada tiga jenis pengangkutan
antara lain :
a.
Pengangkutan
melalui darat yang diatur dalam :
1) KUHD, Buku I, Bab V, Bagian 2 dan 3, mulai pasal 90-98.
2) Peraturan khusus lainnya, misalnya, Undang-Undang Nomor
13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian. Dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya.
3)
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi.
http://rohanskasim.blogspot.com/2013/01/hukum-pengangkutan.html
. HUKUM
TRANSPORTASI DARAT
1. Masalah
Pengangkutan
Transportasi
memegang peranan yang sangat penting dalam bisnis nasional maupun
internasional. Transportasi akan menjamin kelancaran lalu lintas barang dalam
perdagangan nasional maupun internasional dan menjamin hak kepemilikan atas
barang dengan pengeluaran dokumen pengapalan yang sangat vital seperti bill of
lading, airways bill dan lain-lain .
Pasal 506 ayat 1
KUHD mendefinisikan bill of lading atau konsemen sebagai suatu surat yang
bertanggal dalam mana si pengangkut menerangkan bahwa ia telah menerima
barang-barang tersebut untuk diangkutnya ke suatu tujuan tertentu dan
menyerahkanya di situ kepada seseorang tertentu, begitupula menerangkan dengan
syarat-syarat apakah barang-barang itu akan diserahkan. Dari ketentuan pasal
tersebut fungsi dari B/L yaitu:
1. sebagai surat
bukti perjanjian pengangkutan.
2. sebagai surat
bukti penerimaan barang
3. sebagai bukti
pemilikan barang (document of title)
JENIS-JENIS BILL OF
LADING
1. negotiable B/L
(original B/L) dan non negotiable B/L.
2. on board B/L
& receipt B/L.
3. clean and foul
B/L.
4. long form and
short form B/L.
5. combined
transport B/L (multimodal B/L) & single modal B/L.
6. express B/L.
7. stale B/L.
8. swicht B/L.
9. third party B/L.
10. ocean B/L &
house B/L.
11. chartered B/L.
12. way bill and
forwarder cargo receipt (FCR).
13. air way bill
(AWB).
14. FIATA bill of
lading (FBL).
Cara Peralihan B/L
B/L dapat
diterbitkan sebagai atas nama (op naam), atas pengganti (aan order) maupun atas
tunjuk (aan toonder) sebagaimana diatur dalam pasal 506 ayat 2 KUHD. Fungsinya
untuk menunjukan bagaimana B/L tersebut harus diperalihkan.
Lebih lanjut pasal
508 KUHD B/L atas pengganti diperalihkan dengan endosemen dan penyerahan
suratnya. Pasal ini tidak mengatur bagaimana cara peralihan B/L atas nama dan
atas tunjuk. Untuk itu kita dapat melihat ketentuan pasal 613 KUH Perdata,
dimana peralihan B/L atas nama dapat dilakukan dengan akte van cessie, dan B/L
atas tunjuk dengan peralihan dari tangan ketangan yang disertai dengan
endorsemen .
The Haque –Visby
Rules
Walaupun belum
berlaku secara universal, the haque-visby rules merupakan aturan-aturan yang
diadakan untuk menyeimbangkan kepentingan perusahaan ekspedisi (shipper) dan
perusahaan perkapalan dan memberikan kepastian bagi pemilik barang (consignee).
Peraturan ini dikeluarkan karena ada kebutuhan-kebutuhan akan aturan yang dapat
diterima secara internasional sebagai antisipasi atas adanya beberapa
perusahaan perkapalan memasukan klausul mereka sendiri di dalam kontrak
pengangkutan dan memperkecil hak-hak dari perusahaan ekspedisi.
Tiga Kewajibnan
Utama Perusahaan Perkapalan
1. mengusahakan
kapalnya layak kerja.
2. mempunyai awak,
peralatan dan supply yang layak.
3. mengusahakn
kapal tersebut cocok dan aman untuk membawa dan memelihara kargo. Disamping itu
carrier juga wajib untuk secara layak dan berhati-hati memuat, memelihara dan
membongkar kargo.
The Hamburg Rules
Karena adanya ketidaksepakatan atas hal-hal yang diatur oleh the
haque-visby rules yang lebih banyak melindungi shipper dan pemilik barang maka
diadakanlah the hamburg rule yang ditetapkana pada tahun 1978 di Hamburg. Dalam
hamburg rules beban pembuktian berada pada pihak carrier.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar